Terpecah di Dalam Diri: Konflik Neurotik di Era Media Sosial
Psikologi
“Only when we are willing to bear the brunt can we approximate the ideal of being the captain of our ship.” — Karen Horney, Our Inner Conflicts
Pengantar: Dunia Luar yang Terlalu Nyaring
Di tengah arus informasi yang membanjiri hidup kita—dari notifikasi media sosial, perbandingan hidup di Instagram, hingga tekanan pencapaian dalam dunia kerja—banyak orang merasa terpecah di dalam dirinya. Mereka hidup dalam “dualitas digital”: menampilkan citra ideal diri di layar, sambil bergulat diam-diam dengan kekosongan, cemas, dan kelelahan yang tak bernama.
Fenomena ini bukan sekadar stres biasa. Ia mencerminkan sesuatu yang lebih dalam—yang oleh Karen Horney (1945) dalam Our Inner Conflicts disebut sebagai konflik neurotik, yaitu benturan internal yang tak terselesaikan antara tiga dorongan mendasar manusia: ingin dekat dengan orang lain (moving toward), ingin menguasai dan mengalahkan (moving against), serta ingin menjauh untuk melindungi diri (moving away).
Inti Teori Horney: Tiga Gerakan Psikologis
Karen Horney menolak pandangan Freud yang terlalu menekankan naluri seksual sebagai sumber gangguan jiwa. Ia justru melihat bahwa gangguan psikologis lebih banyak bersumber dari cara kita berelasi dengan orang lain—terutama jika hubungan tersebut diwarnai ketakutan, kebutuhan akan penerimaan, dan pengalaman masa kecil yang membuat kita merasa tidak aman.
Horney mengidentifikasi tiga strategi bertahan yang sering digunakan individu:
-
Moving Toward People – Kita menjadi sangat penurut, tergantung pada penerimaan orang lain, dan mengorbankan keinginan pribadi demi “disukai”.
-
Moving Against People – Kita menjadi agresif, kompetitif, dan dominan agar tidak ditindas dan tetap “di atas”.
-
Moving Away From People – Kita menarik diri, menjaga jarak emosional, dan merasa paling aman dalam isolasi.
Yang membuatnya menjadi masalah adalah ketika tiga strategi ini hidup bersama dalam diri seseorang, dan menciptakan konflik batin yang tak disadari.
Hubungan dengan Fenomena Masa Kini: “Digital Identity Crisis”
1. Citra Ideal Diri di Media Sosial
Fenomena "Instagram vs. Reality" mencerminkan apa yang oleh Horney disebut sebagai idealized image—gambaran sempurna tentang diri yang diciptakan untuk menutupi kekacauan internal. Kita merasa harus selalu terlihat bahagia, produktif, dan sukses. Semakin jauh gambaran ini dari realitas diri kita, semakin besar rasa hampa dan cemas yang muncul.
“The farther the image is removed from reality, the more insatiable the need for admiration.” — Karen Horney
2. Kebutuhan Akan Validasi dan Kecemasan Sosial
Orang yang dominan dalam moving toward merasa terancam ketika tidak mendapat “like” atau komentar. Ketergantungan terhadap validasi eksternal menggantikan koneksi dengan nilai dan keinginan diri sendiri. Mereka takut ditinggalkan, padahal dalam prosesnya justru kehilangan diri.
3. Ambisi Tanpa Arah dan Burnout
Di sisi lain, mereka yang mengandalkan moving against terjebak dalam pola kompetisi konstan. Semakin banyak yang dicapai, semakin tidak pernah cukup. Mereka mungkin terlihat dominan dan kuat, tetapi sering kali rapuh dan penuh kecemasan jika “kalah” di mata orang lain.
4. Penarikan Diri dalam Senyap
Banyak pula yang akhirnya memilih moving away sebagai mekanisme bertahan. Menjauh dari keramaian, tidak ingin dilihat, bahkan takut berkomitmen dalam hubungan. Sayangnya, ini bukan karena kemandirian, melainkan karena ketakutan mendalam akan terluka.
Kenapa Ini Penting?
Konflik-konflik ini, menurut Horney, bukan hanya membuat kita cemas atau tidak bahagia, tetapi juga menghancurkan kapasitas kita untuk menjadi pribadi yang utuh. Mereka menjauhkan kita dari spontanitas, kejujuran, dan kemampuan untuk mencintai dengan tulus—baik diri sendiri maupun orang lain.
Horney menulis bahwa solusi bukanlah memilih salah satu strategi, tetapi menghadapi dan menyadari konflik-konflik itu. Dengan menyadari dorongan-dorongan yang bertentangan di dalam diri, kita mulai memulihkan keutuhan kita yang retak.
Menuju Integrasi: Dari Artifisial Menuju Autentik
Untuk keluar dari jebakan ini, kita perlu:
-
Mengenali pola kita sendiri: Apakah kita lebih sering tunduk, menyerang, atau menghindar?
-
Membangun kesadaran akan “ideal self” yang menindas: Apakah kita terlalu keras pada diri sendiri?
-
Melatih keberanian untuk merasa: Rasa takut, marah, atau lemah bukan untuk ditekan, tetapi untuk dipahami.
Dalam era yang sangat visual dan kompetitif ini, mengintegrasikan kembali tiga sisi kita bukan pekerjaan mudah. Tetapi seperti yang diyakini Horney, manusia tidak ditakdirkan untuk hancur oleh konflik dalam dirinya. Kita bisa berubah, selama kita memilih untuk sadar.
Penutup
Konflik batin bukan tanda kegagalan, tetapi justru sinyal bahwa ada kehidupan batin yang aktif sedang mencari keseimbangan. Di tengah tekanan dunia modern, pesan Karen Horney tetap relevan: konflik internal tidak harus membawa kehancuran—ia bisa menjadi jalan menuju pemulihan dan kedewasaan psikologis yang otentik.
“I believe that man can change and go on changing as long as he lives.” — Karen Horney