Represi: Memahami Mekanisme Psikis yang Membentuk Pikiran, Perilaku, dan Kesehatan
Psikologi
Pendahuluan
Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, memperkenalkan sebuah konsep penting yang menjadi fondasi ilmu psikologi modern: represi (repression). Represi adalah mekanisme pertahanan diri, di mana pikiran, emosi, atau memori yang dianggap menyakitkan, tidak pantas, atau mengancam ditekan ke alam bawah sadar agar tidak muncul ke permukaan kesadaran.
Freud menyebut represi sebagai batu penjuru psikoanalisis—tanpa memahami represi, kita tidak akan bisa memahami bagaimana alam bawah sadar bekerja.
Apa Itu Represi?
Secara sederhana, represi adalah proses menyingkirkan sesuatu yang tidak nyaman dari kesadaran kita. Misalnya, seseorang yang pernah mengalami trauma masa kecil bisa menekan memori itu agar tidak mengganggu kehidupan sehari-harinya.
Namun, represi bukanlah penghapusan. Memori itu tidak hilang, melainkan hanya tersembunyi. Ia tetap ada, aktif, dan suatu saat bisa muncul kembali dalam bentuk lain: mimpi, gejala tubuh, atau perilaku aneh yang tampak “tidak masuk akal”.
Dampak Represi pada Kehidupan Sehari-hari
Jika represi terus berlangsung, ia tidak hanya memengaruhi perasaan, tetapi juga seluruh aspek kehidupan manusia:
- Pikiran: menjadi penuh dengan kecemasan samar, sulit fokus, dan mudah terganggu oleh “pikiran pengganti” yang tidak jelas sumbernya.
- Tubuh: energi yang ditekan muncul dalam bentuk psikosomatis—sakit kepala, sesak napas, gangguan pencernaan, atau nyeri tanpa sebab medis.
- Perilaku: muncul reaksi kompulsif, mudah marah tanpa alasan, atau perilaku pasif-agresif.
- Nilai & Keyakinan: bisa menjadi kaku, penuh pembatasan, karena banyak keinginan diri yang “harus” ditekan demi norma.
- Cara Berpikir: pola pikir menjadi defensif, sulit terbuka terhadap perubahan, karena energi psikis banyak habis untuk menahan hal-hal yang ditekan.
Freud menyebut fenomena ini dahulu dengan istilah histeria, sementara psikologi modern mengenalnya sebagai gangguan psikosomatis.
Analogi Represi: Tungku dengan Api
Bayangkan sebuah tungku dengan api yang terus menyala. Normalnya, tungku memiliki katup untuk melepaskan tekanan panas agar tidak meledak.
Represi bekerja seperti menutup rapat katup itu. Semakin banyak energi emosi ditekan, semakin besar tekanan di dalam tungku. Jika katup tidak pernah dibuka, tungku bisa retak, bahkan hancur.
Demikian pula manusia. Jika emosi dan memori traumatis terus ditekan, lambat laun tubuh, pikiran, dan perilaku akan mengalami keretakan—munculnya gejala psikosomatis, depresi, kecemasan, atau perilaku maladaptif.
Abreaksi: Katup yang Terbuka
Dalam psikologi dan hipnoterapi, ada fenomena yang disebut abreaksi. Abreaksi adalah pelepasan emosi terpendam yang selama ini ditekan oleh represi.
Ketika abreaksi terjadi, seseorang bisa menangis hebat, marah, atau gemetar saat memori traumatis muncul kembali. Meski tampak dramatis, abreaksi adalah proses penyembuhan—katup tungku akhirnya terbuka, dan energi psikis yang lama terjebak bisa keluar.
Bagaimana Psikoterapi dan Hipnoterapi Membantu?
-
Psikoterapi: Membantu klien menyadari isi bawah sadar yang direpresi, memahami akar emosinya, dan menata ulang makna pengalaman traumatis. Proses ini perlahan mengurangi energi yang terjebak di alam bawah sadar.
-
Hipnoterapi: Sebagai bentuk terapi berbasis kognitif, hipnoterapi memanfaatkan kondisi trance untuk mengakses memori bawah sadar. Di dalam kondisi ini, klien bisa mengekspresikan emosi terpendam (abreaksi) dengan aman, kemudian merekonstruksi cara pandang dan responnya terhadap pengalaman masa lalu.
Dengan kata lain, hipnoterapi bukan hanya membuka katup tungku, tetapi juga mengatur ulang sistem pembakaran agar lebih stabil dan sehat.
Kesimpulan
Represi adalah mekanisme alami yang membantu kita bertahan dari pengalaman yang menyakitkan. Namun, jika dibiarkan menumpuk tanpa jalan keluar, represi bisa merusak tubuh, pikiran, dan relasi sosial.
Psikoterapi dan hipnoterapi hadir sebagai sarana membuka katup tungku psikis manusia. Dengan proses yang aman, represi bisa diolah, emosi bisa dilepaskan melalui abreaksi, dan energi psikis bisa kembali mengalir untuk kehidupan yang lebih sehat.