Perilaku Anti Sosial: Saat Norma Tak Lagi Menjadi Pedoman
Psikologi
Suatu pagi yang biasa, seorang pengemudi menurunkan kaca mobilnya, mengacungkan jari tengahnya dengan penuh emosi ke arah pengendara lain. Bagi sebagian orang, itu hanya sekejap luapan amarah. Tapi bagi sebagian kecil lainnya, itu adalah pola. Pola perilaku yang menolak norma, menyakiti sesama, dan mengikis simpul-simpul sosial dalam diam maupun terang. Inilah wajah perilaku anti sosial — sebuah istilah yang terdengar teknis namun mencerminkan ketegangan sosial yang begitu dekat dengan kehidupan kita.
Apa Itu Perilaku Anti Sosial?
Perilaku anti sosial tidak sekadar berarti tidak suka bersosialisasi. Ia adalah suatu bentuk perilaku yang secara sengaja melanggar norma sosial dan merugikan orang lain—baik melalui tindakan fisik, verbal, maupun simbolik. Ini mencakup kebiasaan seperti berbohong, mencuri, kekerasan, vandalisme, menipu, hingga perusakan properti dan pelecehan terhadap hak orang lain.
Pada level ekstrem, perilaku ini dapat mengarah pada diagnosis klinis yang dikenal sebagai Antisocial Personality Disorder (ASPD), sebuah gangguan kepribadian yang ditandai dengan pengabaian konsisten terhadap norma sosial, empati, dan tanggung jawab.
Akar yang Dalam: Faktor Penyebab Perilaku Anti Sosial
Perilaku ini bukan hanya soal pilihan sadar. Ia tumbuh dari akar-akar dalam: pola asuh yang disfungsional, trauma masa kecil, gangguan perkembangan neurologis, pengaruh lingkungan yang permisif terhadap kekerasan, serta faktor genetis. Salah satu temuan penting adalah bahwa individu dengan riwayat conduct disorder di masa kanak-kanak berisiko tinggi berkembang menjadi pelaku ASPD saat dewasa. Pola asuh yang kasar, tidak konsisten, atau penuh pengabaian berperan besar dalam pembentukan kepribadian antisosial. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti itu kerap gagal mengembangkan empati, moralitas sosial, dan kontrol diri yang sehat. Mereka belajar bahwa manipulasi dan kekerasan lebih efektif daripada dialog dan kompromi.
Ketika Amarah Jadi Gaya Hidup: Antisosial dalam Praktik Sosial
Tak jarang perilaku ini muncul di jalan raya. Studi menunjukkan bahwa hanya 2% pengendara menyumbang 40% dari seluruh insiden “giving-the-finger” saat berkendara. Ini bukan sekadar ledakan emosi sesaat, melainkan bagian dari profil gaya hidup kronis, yang bahkan bisa dipetakan melalui kebiasaan media, konsumsi, dan demografi. Di sisi lain, masyarakat cenderung menormalisasi perilaku-perilaku ini jika tidak terlihat ekstrem. Padahal, seperti api kecil di semak kering, perilaku kecil yang diabaikan bisa tumbuh menjadi ketidakteraturan sosial yang serius, terutama jika lingkungan ikut melanggengkan dengan sikap permisif.
Wajah Klinis Perilaku Antisosial: Antisocial Personality Disorder
ASPD adalah bentuk klinis dari perilaku antisosial yang menetap dan merusak. Diagnosis ini mencakup perilaku seperti agresivitas, manipulasi, kurang empati, pelanggaran hukum, dan kegagalan menjaga tanggung jawab.
Uniknya, banyak pelaku ASPD justru tampak memikat dan menawan. Mereka pandai berkata-kata, tetapi di balik senyuman, tersembunyi sikap manipulatif yang tak segan melukai. Kasus terkenal seperti Ted Bundy adalah gambaran ekstrem bagaimana karisma dan kekejaman bisa tinggal dalam satu tubuh.
Kriteria Klinis Menurut DSM-5
Berdasarkan DSM-5, diagnosis ASPD ditegakkan jika individu:
- Memiliki pola luas pengabaian terhadap hak orang lain sejak usia 15 tahun.
- Menunjukkan minimal 3 dari 7 ciri, seperti: pelanggaran hukum, manipulasi, impulsivitas, agresivitas, pengabaian keselamatan, tidak bertanggung jawab, dan tidak ada penyesalan.
- Berusia minimal 18 tahun.
- Memiliki riwayat gangguan perilaku sebelum usia 15 tahun.
- Perilaku tersebut tidak terjadi secara eksklusif saat skizofrenia atau bipolar.
Tumbuhnya Antisosial dalam Budaya dan Generasi
Riset lintas generasi di Inggris menemukan bahwa gangguan perilaku remaja meningkat tajam dalam 25 tahun terakhir, dengan lonjakan kasus kebohongan, pencurian, dan pembangkangan. Ini menunjukkan bahwa tekanan hidup, sistem pendidikan yang kaku, dan menurunnya kualitas pengasuhan berdampak serius pada generasi muda. Generasi hari ini bukanlah generasi yang “rusak,” tetapi generasi yang kelelahan. Mereka hidup dalam masyarakat yang tak memberikan cukup ruang aman untuk tumbuh, belajar salah, dan diperbaiki tanpa dicap “bandel”.
Langkah Kecil yang Berdampak Besar
Menghadapi perilaku antisosial bukan hanya tugas aparat atau tenaga kesehatan jiwa. Ini adalah kerja kolektif. Intervensi dini, pendidikan karakter sejak dini, ruang dialog antara orang tua dan anak, serta pembentukan komunitas yang sehat secara psikososial adalah fondasi penting.
Penting pula memperkuat sistem pemulihan seperti restorative justice, mediasi antar warga, dan penguatan terapi berbasis relasi untuk pelaku yang telah terjerumus. Beberapa pendekatan berbasis mentalisasi dan terapi psikodinamik telah terbukti membantu memulihkan koneksi emosional pada penderita ASPD.
Penutup: Norma Tak Selalu Diwariskan, Kadang Harus Diciptakan Ulang
Perilaku antisosial mengajarkan kita satu hal: ketika seseorang kehilangan kompas moralnya, bukan hanya karena ia memilih untuk jahat, tetapi mungkin karena ia tak pernah belajar arah utara yang benar. Dan kita semua, sebagai keluarga, guru, tetangga, dan sesama manusia, memegang bagian dari peta itu.
Daftar Pustaka
- American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.
- Yakeley, J., & Williams, A. (2014). Antisocial personality disorder: new directions. Advances in Psychiatric Treatment, 20(2), 132–143. https://doi.org/10.1192/apt.bp.113.011205
- Woodside, A. (2008). Anti-social behaviour: profiling the lives behind road rage. Marketing Intelligence & Planning, 26(5), 459–480. https://doi.org/10.1108/02634500810894316
- Radaza, N. J. (n.d.). Aggression and Anti-Social Behaviour. Unpublished manuscript.
- Henyta Verra Rossa Adellia. (2021). Dominan Faktor yang Mempengaruhi Anti Social Personality Disorder: A Literature Review. Skripsi, Universitas An Nuur.