Mengenal Ego State: Kenapa Kadang Kita Jadi “Orang Lain”?
Hipnoterapi
Bayangkan ini...
Kamu baru saja pulang kerja, lelah, tapi senyum-senyum sendiri karena si dia baru saja ngirimin meme lucu. Tiba-tiba, kamu buka kulkas, lihat es krim, dan langsung ambil tanpa mikir. Di saat yang sama, muncul suara dalam hati: "Bukannya tadi bilang mau diet?" Tapi kamu tetap makan juga. Sore tadi kamu romantis, malam ini kamu rebel. Nah, itulah perpindahan ego state dan itu bukan kamu yang aneh. Itu kamu yang kompleks.
Apa Itu Ego State?
Ego state adalah bagian dari kepribadian kita. Setiap ego state memiliki pola pikir, perasaan, dan perilaku yang khas. Dalam satu tubuh manusia, ada banyak “aku” kecil yang kadang saling bertentangan, tapi semuanya tetap bagian dari satu individu. Misalnya, bagian dirimu yang suka menolong teman adalah ego state yang berbeda dari dirimu yang marah saat macet.
Konsep ini dikembangkan oleh Paul Federn, lalu dikembangkan menjadi terapi oleh John dan Helen Watkins, dan kemudian disempurnakan secara praktis oleh Gordon Emmerson, Ph.D. Mereka percaya bahwa manusia tidak hanya memiliki satu "aku", melainkan terdiri dari berbagai bagian (ego states) yang bisa bekerja sama atau malah saling tabrakan.
Dari Mana Ego State Berasal?
Kita membentuk ego state dari pengalaman hidup kita. Saat suatu perilaku berhasil dan diulang terus-menerus, otak membentuk jalur khusus — seperti aliran sungai kecil — yang akhirnya menjadi bagian dari kepribadian. Misalnya:
-
Anak kecil yang ditenangkan ibunya saat menangis bisa membentuk ego state yang mencari pelukan saat cemas.
-
Anak yang sering bercanda dan mendapat tawa dari orang lain bisa membentuk ego state “si pelawak”.
Masing-masing ego state hidup dan berkembang di dalam diri kita, dan bisa “muncul ke permukaan” saat dibutuhkan.
Apa Tujuan Ego State Therapy?
Tujuan utamanya adalah membantu klien menyadari, memahami, dan menyembuhkan bagian-bagian dirinya yang menyimpan luka atau konflik. Secara umum, Ego State Therapy memiliki tiga sasaran utama:
-
Mendeteksi dan menyembuhkan bagian yang terluka, seperti ego state yang membawa trauma atau kemarahan.
-
Meningkatkan komunikasi antar bagian dalam diri, agar tidak terjadi konflik internal.
-
Menguatkan dan memberdayakan ego state positif, agar individu bisa lebih fleksibel dan sehat secara emosi.
Jenis-Jenis Kondisi Ego State
Menurut Emmerson, ada empat kondisi ego state:
1. Normal Ego State Ego state yang berfungsi dengan baik, selaras dengan bagian lainnya, tidak mengganggu kehidupan, dan sehat.
2. Vaded Ego State Ego state yang terluka akibat trauma atau penolakan di masa lalu. Ia seperti luka batin yang belum sembuh dan sering muncul sebagai reaksi emosional tak terkendali.
3. Retro Ego State Ego state yang dulunya berguna, tapi sekarang tidak cocok lagi. Misalnya, ego state yang dulu menggunakan amarah untuk bertahan hidup di lingkungan keras, tapi kini justru merusak hubungan.
4. Conflicted Ego State Dua atau lebih ego state yang saling bertentangan. Misalnya, satu bagian ingin sukses dan kerja keras, tapi bagian lain ingin istirahat terus. Konflik ini membuat seseorang merasa "tidak damai" di dalam dirinya sendiri.
Kapan Seseorang Perlu Ego State Therapy?
- Kamu mungkin membutuhkan Ego State Therapy jika mengalami:
- Perasaan “terjebak” atau konflik batin yang berulang.
- Reaksi emosional berlebihan terhadap situasi sepele.
- Perilaku kompulsif atau adiksi (misal: makan emosional, merokok, belanja impulsif).
- Trauma masa lalu yang masih membayangi.
- Sulit membuat keputusan karena “perang batin” yang tak selesai.
Terapi ini bekerja seperti memperkenalkan kamu kembali ke bagian-bagian dirimu yang sempat terlupakan, atau yang terlalu sering diam karena takut, marah, atau sedih.
Berdamai dengan Diri Sendiri
Mengenal ego state bukan berarti kamu “bermasalah” atau “berkepribadian ganda.” Justru sebaliknya — ini tentang bagaimana menjadi lebih utuh. Ego State Therapy mengajak kita berdialog dengan diri sendiri, mengenali luka dan kekuatan kita, serta menyatukan semua bagian menjadi tim yang solid.
Seperti tubuh yang punya otot, saraf, dan organ berbeda tapi bekerja bersama, begitu pula jiwa kita. Dan terkadang, untuk benar-benar bahagia, kita perlu mendengarkan semua bagian dari diri kita satu per satu.