Mencintai untuk Bertahan: Memahami Stockholm Syndrome dalam Perspektif Psikologi dan Kasus di Indonesia

Psikologi

Mencintai untuk Bertahan: Memahami Stockholm Syndrome dalam Perspektif Psikologi dan Kasus di Indonesia

Bayangkan seseorang yang menjadi korban penculikan atau kekerasan, di mana nyawanya terancam setiap saat. Aneh rasanya ketika korban tersebut tidak hanya bertahan, tetapi juga menunjukkan kasih sayang dan membela pelaku. Fenomena psikologis inilah yang dikenal sebagai Stockholm Syndrome — sebuah ikatan emosional yang muncul sebagai cara bertahan hidup dalam situasi ekstrem.

Apa Itu Stockholm Syndrome?

Stockholm Syndrome pertama kali dinamai berdasarkan kejadian perampokan bank di Stockholm, Swedia, pada 1973. Empat orang pegawai bank diculik dan disandera selama 131 jam. Anehnya, setelah pembebasan, para sandera justru menunjukkan rasa simpati dan bahkan membela pelaku mereka, sekaligus menunjukkan ketidaksukaan pada pihak polisi yang datang menyelamatkan mereka (Strentz, 1980).

Secara psikologis, Stockholm Syndrome merupakan reaksi emosional korban yang mengembangkan perasaan positif terhadap pelaku meskipun berada dalam kondisi tertekan, terancam, bahkan disiksa (McLaughlin, 2015). Sementara itu, korban juga kerap menunjukkan sikap negatif terhadap pihak penyelamat atau otoritas, sebagai hasil dari proses adaptasi psikologis yang kompleks.

Tiga karakteristik utama yang biasanya ditemukan pada korban Stockholm Syndrome adalah:

  • Perasaan positif korban terhadap pelaku, bahkan kadang berupa kasih sayang atau pembelaan.
  • Sikap negatif korban terhadap polisi atau penyelamat.
  • Kadang muncul juga perasaan positif pelaku terhadap korban (Carver, 2014).

Mekanisme Bertahan Hidup di Balik Stockholm Syndrome

Mengapa korban bisa “mencintai” pelaku yang menyiksa mereka? Jawabannya terletak pada mekanisme psikologis trauma bonding dan learned helplessness. Korban yang dihadapkan pada ancaman nyata akan mencari “kebaikan” kecil sebagai harapan hidup, meski itu datang dari pelaku yang sama yang mengancamnya (Stines, 2018).

Dalam kondisi terisolasi dan tak berdaya, korban mulai mengambil perspektif pelaku sebagai strategi bertahan. Ini mirip bayi yang bergantung penuh pada ibu untuk bertahan hidup — korban menjadi sangat tergantung, secara emosional dan fisik, pada pelaku. Identifikasi ini bukan pilihan sadar, melainkan mekanisme bawah sadar yang membantu mengurangi kecemasan dan rasa sakit (Strentz, 1980).

Kasus Nyata di Indonesia: Studi Penculikan dan Kekerasan Domestik

Di Indonesia, kasus penculikan dan kekerasan domestik yang terekspose ke publik menunjukkan pola perilaku yang mirip dengan Stockholm Syndrome. Salah satu contoh adalah kasus penculikan anak yang diikuti dengan kekerasan dan isolasi panjang.

Korban-korban dalam kasus ini sering kali enggan melarikan diri meski ada kesempatan, bahkan menolak bantuan polisi atau keluarga. Mereka dapat membela pelaku dengan alasan “dia tidak sepenuhnya jahat” atau “saya butuh dia”. Sikap ini seringkali disalahpahami masyarakat dan bahkan keluarga, sehingga menambah beban psikologis korban.

Budaya Indonesia yang kental dengan nilai-nilai kekeluargaan dan rasa malu membuat korban lebih sulit untuk terbuka dan mencari pertolongan. Selain itu, norma hierarki sosial dan tekanan komunitas kadang membuat korban memilih untuk “bertahan” demi menjaga kehormatan keluarga.

Dampak dan Tantangan Pemulihan

Stockholm Syndrome membawa dampak psikologis jangka panjang seperti PTSD, kesulitan mempercayai orang lain, dan konflik identitas. Korban butuh proses pemulihan yang holistik, termasuk terapi psikologis, dukungan sosial, dan pemahaman dari lingkungan sekitar.

Sayangnya, stigma dan ketidaktahuan masyarakat seringkali menghambat proses ini. Banyak korban yang justru dikucilkan atau dicurigai, padahal mereka sedang berjuang dengan trauma berat.

Bagaimana Kita Bisa Membantu?

Memahami bahwa perilaku “mencintai pelaku” adalah bagian dari mekanisme bertahan hidup adalah langkah pertama. Pendekatan yang empatik, bukan menghakimi, diperlukan saat berinteraksi dengan korban.

Psychoeducation dapat membantu korban memahami kondisi psikologisnya dan mulai memulihkan diri secara bertahap (Stines, 2018). Dukungan keluarga dan komunitas juga sangat penting agar korban merasa aman dan diterima.

Terapi profesional seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan terapi trauma menjadi jalan bagi korban untuk melepaskan ikatan berbahaya tersebut dan membangun kembali kehidupan yang sehat.

Kesimpulan

Stockholm Syndrome bukan sekadar fenomena “mencintai pelaku secara naif”, melainkan sebuah strategi bertahan hidup psikologis dalam menghadapi ancaman ekstrem. Kasus-kasus di Indonesia menunjukkan bagaimana kondisi ini berkembang dalam konteks sosial dan budaya lokal, menambah kompleksitas tantangan pemulihan.

Dengan pemahaman yang lebih baik, kita bisa membuka ruang bagi korban untuk mendapatkan dukungan yang mereka perlukan dan membantu mereka pulih dari trauma berat. Buku ini hadir untuk mengajak masyarakat memahami dan menghormati kekuatan bertahan hidup yang luar biasa pada korban, sekaligus mendukung mereka keluar dari ikatan berbahaya itu.

Referensi Singkat

McLaughlin, C. M. (2015). Fear or Love: Examining Stockholm Syndrome in the Elizabeth Smart Kidnapping case.

Carver, J. M. (2014). Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser.

Strentz, T. (1980). The Stockholm Syndrome: Law Enforcement Policy and Ego Defenses of the Hostage.

Stines, S. (2018). Why Stockholm Syndrome Happens and How to Help.

Kenali Diri Anda Lebih Dalam, Temukan Potensi Terbaik Anda

Mari bergabung dengan komunitas kami untuk belajar, tumbuh, dan mencapai kesejahteraan mental yang lebih baik. Psikonesia hadir untuk menjadi mitra dalam perjalanan Anda menuju kebahagiaan, kedamaian batin, dan pemulihan.

Saya Ingin Bergabung