Memahami Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) pada Anak
PsikologiAttention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan yang biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan sering diklasifikasikan sebagai gangguan belajar. Anak dengan ADHD mengalami kesulitan besar dalam berkonsentrasi lebih dari beberapa menit, sulit duduk diam, dan mengontrol aktivitas fisiknya. Mereka cenderung impulsif dan kurang kontrol diri, serta mudah terganggu, sehingga bisa membuat orang di sekitarnya frustrasi. Masalah ini sering kali terdeteksi ketika anak mengalami kesulitan di sekolah. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar 5% anak sekolah di AS menderita ADHD, dengan sebagian besar adalah laki-laki.
Menurut DSM-IV, terdapat tiga tipe ADHD: tipe impulsif, tipe inattentif, dan tipe gabungan. Masing-masing tipe memiliki sembilan gejala, dengan minimal enam gejala harus muncul selama minimal enam bulan dan mengganggu perkembangan anak. Pada tipe gabungan, kriteria kedua tipe harus terpenuhi.
Gejala tipe inattentif meliputi:
- Sulit memberi perhatian pada detail, sering membuat kesalahan ceroboh.
- Sulit mempertahankan fokus dalam tugas atau permainan.
- Terlihat tidak mendengarkan saat diajak bicara langsung.
- Kesulitan mengikuti instruksi dan menyelesaikan tugas.
- Sulit mengatur tugas dan aktivitas.
- Menghindari tugas yang memerlukan konsentrasi tinggi.
- Sering kehilangan barang-barang penting.
- Mudah terganggu oleh stimulus luar.
- Sering lupa melakukan kegiatan sehari-hari.
Gejala tipe impulsif meliputi:
- Sering gelisah atau bergerak terus-menerus.
- Sering meninggalkan tempat duduk saat seharusnya duduk.
- Berlari atau memanjat secara berlebihan di tempat yang tidak sesuai.
- Sulit bermain dengan tenang.
- Terlihat seperti selalu bergerak atau didorong oleh motor.
- Terlalu banyak bicara.
- Menjawab pertanyaan sebelum selesai didengar.
- Sulit menunggu giliran.
- Sering menyela atau mengganggu orang lain.
Karena beberapa gejala tersebut bisa muncul sesekali pada anak normal, diagnosis ADHD dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari salah diagnosis atau overdiagnosis.
Penyebab ADHD diyakini bersifat neurologis, terbukti dari keberhasilan penggunaan obat psikoaktif dalam mengontrol gejala. Obat stimulans yang paling umum adalah methylphenidate (Ritalin), yang secara paradoks mampu membantu anak dengan ADHD lebih fokus dan tenang. Pada tahun 1999, tercatat hampir 10 juta resep Ritalin di Amerika Serikat, sebagian besar untuk anak-anak.
Namun, penting untuk dipahami bahwa obat ini bukanlah penyembuh ADHD, melainkan hanya membantu mengendalikan gejala. Kombinasi antara obat dan psikoterapi, terutama terapi perilaku terapan (Applied Behavior Analysis), diperlukan untuk hasil yang lebih tahan lama. Penggunaan obat tanpa diagnosis dan pengawasan yang tepat justru bisa berbahaya, karena dosis yang berlebihan dapat memperburuk kondisi atau menyebabkan lethargy dan hilangnya minat belajar.
Beberapa ahli berpendapat bahwa terapi perilaku tanpa obat lebih disukai karena menghindari efek samping dari stimulan. Namun, obat tetap digunakan karena efektivitasnya dalam membantu mengendalikan gejala agar terapi dan modifikasi perilaku lainnya bisa lebih efektif dilakukan.
Sumber: Luis A. Cordón. POPULAR PSYCHOLOGY AN ENCYCLOPEDIA