Ketika Ego Terluka: Membongkar Fenomena Pembunuhan karena Hinaan dari Perspektif Psikologi
Psikologi
Penghantar: Emosi yang Meledak, Nyawa yang Hilang
Kasus pembunuhan pemilik toko sembako oleh seorang karyawannya di Bekasi mengguncang publik. Andreas, pria berusia 21 tahun, menganiaya dan menghabisi nyawa atasannya setelah merasa terhina karena ditolak saat meminjam uang. Peristiwa tragis ini menyoroti masalah yang jauh lebih dalam daripada sekadar kemarahan sesaat—ia memperlihatkan dinamika psikologis yang kompleks di balik tindakan kekerasan ekstrem.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran Andreas saat itu? Mengapa hinaan bisa berubah menjadi tindakan brutal? Dan bagaimana peran “ego” dalam psikologi menjelaskan reaksi yang tak terkendali ini?
Fenomena Psikologis di Balik Aksi Kekerasan
- Hostile Attribution Bias (HAB) HAB adalah kecenderungan untuk menafsirkan tindakan orang lain sebagai serangan atau ancaman, bahkan jika maksud sebenarnya ambigu atau tidak berbahaya. Dalam konteks Andreas, komentar atasannya seperti “malas kerja” atau “sering minta kasbon” dipersepsi bukan sebagai kritik membangun, tetapi sebagai penghinaan terhadap harga dirinya.
“Orang yang mengalami hostile attribution bias cenderung menyikapi kritik sebagai serangan pribadi, bukan sebagai umpan balik objektif.” (Dodge & Coie, 1987)
Ketika pola pikir ini mendominasi, individu menjadi lebih mudah tersulut emosi, dan agresi impulsif pun menjadi pilihan respons.
- Moral Disengagement Menurut Bandura (1999), moral disengagement adalah proses psikologis di mana seseorang menanggalkan standar moralnya untuk membenarkan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai etis. Dalam kasus Andreas:
- Ia merasa dihina → merasa tidak dihargai → mulai memandang kekerasan sebagai bentuk keadilan pribadi.
- Ia mengambil uang korban setelah membunuh → karena merasa dirinya “berhak”, bukan mencuri.
“Kekerasan seringkali muncul bukan karena kurangnya moral, tetapi karena proses pembenaran internal terhadap tindakan amoral.” (Bandura, 1999)
- Stress Economic Pressure Faktor ekonomi menjadi pemicu awal: Andreas terlilit utang dan berusaha meminjam uang. Tekanan ekonomi, terutama jika terus menerus menumpuk tanpa solusi, dapat menggerus kemampuan regulasi emosi seseorang.
Dalam psikologi, ini sejalan dengan Family Stress Model yang menunjukkan bahwa tekanan keuangan berkontribusi terhadap gangguan emosional dan perilaku agresif.
Kajian Psikologi Ego: Saat Pengatur Diri Gagal Menahan Ledakan
Dalam teori Freud, ego adalah komponen psikis yang bertugas menengahi antara dorongan naluriah (id) dan nilai moral (superego). Ego membantu individu menghadapi realitas secara rasional.
Namun, ketika ego melemah—baik karena tekanan ekonomi, konflik emosional, atau harga diri yang rapuh—pengendalian diri menjadi runtuh. Pada kasus Andreas:
- Id (dorongan agresi, emosi terluka) mendominasi.
- Superego (nilai moral) tertutup oleh rasa sakit hati dan tekanan.
- Ego gagal berfungsi untuk menengahi atau mencari solusi yang realistis.
Dalam kondisi seperti ini, tindakan impulsif seperti kekerasan atau pencurian dapat terjadi karena mekanisme pertahanan ego juga menjadi disfungsional, misalnya:
- Rationalization: "Saya diperlakukan tidak adil, jadi pantas saya membalas."
- Displacement: Emosi terhadap diri sendiri atau masa lalu dipindahkan ke korban.
"Weak ego leads to poor impulse control, especially under stress and shame." (Freud, 1923; Vaillant, 1994)
Bagaimana Jika Saya Memiliki Kecenderungan Serupa?
Jika Anda pernah merasa sangat tersinggung, reaktif, atau menyimpan dendam saat dihina, berikut langkah preventif psikologis:
-
Sadari Pola Emosi Diri Sendiri
- Amati reaksi saat dikritik: apakah langsung marah? diam? menyimpan dendam?
- Tanyakan: “Apakah saya menafsirkan ini sebagai ancaman, atau hanya saran?”
-
Latih Teknik Regulasi Emosi
- Ambil jeda sebelum merespons: tarik napas, hitung sampai 10, lalu baru bicara.
- Gunakan teknik journaling untuk melatih kesadaran emosi.
-
Bangun Ego yang Sehat
- Jangan terlalu keras terhadap diri sendiri. Terima kritik dengan objektivitas.
- Perkuat self-worth bukan dari pengakuan orang lain, tapi dari progres diri.
-
Konseling atau Psikoterapi
- Terapi perilaku kognitif (CBT) terbukti efektif dalam mengatasi hostile attribution bias dan impulsivitas.
- Jangan ragu konsultasi ke profesional jika merasa tak bisa mengendalikan amarah.
Tips Bagi Masyarakat: Agar Fenomena Ini Tidak Terulang
-
Bangun Budaya Komunikasi Sehat
- Kritik boleh, tapi tanpa merendahkan. Gunakan bahasa “saya” bukan “kamu”.
- Pahami bahwa harga diri seseorang sangat rentan pada situasi ekonomi yang sulit.
-
Literasi Emosional Sejak Dini
- Ajarkan anak-anak mengenali, menyebut, dan mengelola emosi sejak usia dini.
- Sekolah dan tempat kerja bisa menyediakan pelatihan manajemen konflik.
-
Dukungan Psikososial di Tempat Kerja
- Pekerja yang terbuka menyampaikan kesulitan ekonominya bisa diarahkan ke program bantuan, bukan dipermalukan.
- Ciptakan ruang diskusi aman antara atasan dan karyawan.
Penutup: Luka Ego, Luka Sosial
Kematian akibat hinaan bukanlah cerita tentang “anak durhaka” atau “majikan galak”, tapi potret tentang bagaimana ego yang terluka dan tak tertolong bisa berubah menjadi senjata. Maka bukan hanya pelaku yang harus bertanggung jawab, tetapi juga sistem sosial yang abai terhadap kesejahteraan mental masyarakatnya.
Karena dalam setiap kata yang kita ucapkan, bisa ada bara yang menyala—atau air yang meredakan. Maka mari memilih dengan bijak.