Gangguan Disosiatif: Memahami Trauma yang Memisahkan Pikiran, Ingatan, dan Identitas

Psikologi Gangguan Disosiatif: Memahami Trauma yang Memisahkan Pikiran, Ingatan, dan Identitas

Pendahuluan

Pernahkah kamu merasa tidak sedang menjadi dirimu sendiri? Seperti tubuhmu hadir, tapi jiwamu sedang menepi entah ke mana. Pernahkah kamu menulis sesuatu, tapi saat membacanya kembali kamu merasa itu bukan tulisanmu? Atau saat kamu berdiri di depan cermin, kamu menatap wajah sendiri tapi tak yakin siapa yang sedang menatap balik?

Bagi sebagian orang, itu hanya fase lelah. Tapi bagi sebagian lainnya, itu adalah hari-hari yang terus berulang. Hari-hari ketika identitas bukan lagi kepastian, ketika ingatan menjadi serpihan kaca yang tak bisa disusun ulang. Itulah dunia orang-orang yang hidup dengan gangguan disosiatif.

Gangguan ini bukan sekadar tokoh di film “Split” atau “Sybil”. Ini bukan kisah yang hanya terjadi di layar lebar. Ini nyata. Ini ada. Dan sering kali, ini tidak disadari.

Artikel ini bukan sekadar penjelasan medis. Ini adalah ajakan untuk menyelami kompleksitas jiwa manusia—tentang bagaimana pikiran bisa memilih untuk “memisahkan diri” agar luka bisa tetap tertahan. Mari kita bahas bersama: apa itu gangguan disosiatif, bagaimana ia bekerja, siapa yang berisiko, serta bagaimana harapan masih bisa ditumbuhkan.

Apa Itu Gangguan Disosiatif?

Secara sederhana, disosiasi adalah kondisi ketika bagian-bagian dalam diri kita—memori, identitas, kesadaran—tidak lagi saling menyatu dengan utuh. Ibarat orkestra tanpa konduktor, jiwa kehilangan harmoninya. Hasilnya adalah kebingungan, kehampaan, atau bahkan munculnya bagian kepribadian yang berbeda.

Pada tahap ringan, kita semua pernah mengalaminya. Kita menyebutnya melamun. Saat tubuh menyetir, pikiran melanglang buana, lalu tersadar sudah sampai rumah tanpa ingat prosesnya. Itu bentuk disosiasi yang wajar.

Namun pada tingkat klinis, gangguan disosiatif bisa membuat seseorang lupa siapa dirinya, tak mengenali keluarga, atau bahkan hidup dalam identitas lain.

Jenis-Jenis Gangguan Disosiatif

1. Amnesia Disosiatif

Bayangkan kamu tidak bisa mengingat bagian-bagian penting dari hidupmu. Bukan karena kamu tidak mau mengingatnya, tapi karena otakmu memilih untuk tidak membiarkanmu mengaksesnya. Itulah amnesia disosiatif.

Jenis-jenisnya antara lain:

  • Amnesia lokal: Lupa terhadap kejadian dalam jangka waktu tertentu, misalnya beberapa jam setelah kecelakaan atau kekerasan.

  • Amnesia selektif: Mengingat sebagian peristiwa, tapi lupa bagian paling menyakitkan.

  • Amnesia menyeluruh: Melupakan seluruh identitas diri; tak tahu siapa kamu, di mana kamu tinggal, atau siapa keluargamu.

  • Amnesia kontinu: Tak mampu mengingat kejadian-kejadian baru seiring waktu berjalan.

  • Amnesia sistematis: Lupa terhadap kategori tertentu, seperti semua hal tentang ayah atau kampung halaman.

    Contoh: Seorang ibu muda ditemukan berkeliaran di terminal. Ia tidak ingat siapa dirinya, tapi tubuhnya tahu cara mengurus bayi. Ia bahkan bisa menyanyikan lagu anak-anak—meski tidak tahu siapa yang mengajarkannya.

2. Fugue Disosiatif

Fugue disosiatif adalah “pelarian tanpa kesadaran.” Penderita mengalami amnesia, lalu pergi meninggalkan rumah dan membangun identitas baru.

Contoh: Seorang pria yang dikenal sebagai tukang servis elektronik di kota A, tiba-tiba ditemukan bekerja sebagai nelayan di kota B dengan nama berbeda. Ia tidak mengingat kehidupan lamanya. Suatu hari, ia bangun dan merasa bingung—“Mengapa aku tinggal di sini? Siapa orang-orang ini?”

3. Gangguan Identitas Disosiatif (DID)

Ini adalah jenis paling kompleks. Dulu disebut “kepribadian ganda”. Penderitanya memiliki dua atau lebih identitas berbeda (disebut alter) yang mengambil alih perilaku tubuh secara bergantian.

Alter ini bisa berbeda usia, jenis kelamin, kepribadian, bahkan kondisi medis. Mereka mungkin tidak saling mengenal, tapi tinggal dalam tubuh yang sama.

Contoh: Dalam satu minggu, seorang mahasiswa bisa menjadi remaja perempuan yang ceria, lalu berubah menjadi pria pendiam yang alergi kacang, lalu menjadi ibu rumah tangga yang sangat religius.

4. Gangguan Depersonalisasi/Derealisasi

Dalam kondisi ini, dunia terasa seperti mimpi. Diri sendiri seperti robot yang sedang bergerak otomatis. Meski penderita sadar bahwa ini hanya perasaan, pengalaman itu tetap membuatnya hancur secara batin.

Contoh: Seorang pegawai merasa dirinya menonton tubuhnya sendiri berbicara di ruang rapat. Ia tahu itu dirinya, tapi rasanya seperti menonton film tentang orang lain.

Penyebab dan Faktor Risiko

Gangguan ini bukan hadir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari tanah yang penuh luka. Sebagian besar penderita gangguan disosiatif memiliki riwayat:

  • Kekerasan fisik di masa kanak-kanak
  • Pelecehan seksual berulang
  • Penelantaran emosional atau pengasuhan yang dingin

Namun penyebabnya juga bisa diperkuat oleh:

  • Ketidakhadiran dukungan sosial
  • Paparan stres berat berulang (perang, bencana, konflik rumah tangga)
  • Sifat sugestif tinggi (mudah terhipnosis)
  • Mekanisme bertahan diri ekstrem, saat rasa sakit tak bisa lagi dihadapi secara sadar

Disosiasi adalah “pilihan bawah sadar” otak untuk tidak hancur total. Sebagian jiwa memilih bersembunyi demi bisa bertahan.

Kontroversi yang Tak Pernah Usai

Gangguan ini telah lama menjadi perdebatan. Di satu sisi, ada bukti-bukti neurologis dan kisah-kisah terapi yang menyentuh. Di sisi lain, ada suara skeptis yang menyebutnya hasil dari sugesti psikoterapi yang terlalu intens.

Media turut memperkeruh persepsi. Film sering menyederhanakan atau menakut-nakuti. Akibatnya, banyak orang menyamakan gangguan disosiatif dengan “kesurupan”, “kerasukan”, atau bahkan “kemampuan supranatural”.

Padahal realitanya lebih menyakitkan dari yang tampak.

Penanganan dan Harapan

Tak ada pil ajaib untuk menyembuhkan gangguan ini. Tapi harapan tetap ada.

Psikoterapi jangka panjang adalah pendekatan utama. Tujuannya bukan menghapus alter, tapi membantu individu memahami dirinya, menerima fragmen-fragmen memori, dan memulihkan harmoni internal.

Terapi yang bisa digunakan:

  • EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
  • CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
  • Terapi naratif atau integratif
  • Pendekatan psikodinamik jangka panjang

Dukungan dari lingkungan juga sangat penting. Satu kalimat empati bisa menjadi jembatan penyelamat. Dan jangan lupa, stigma adalah racun paling sunyi bagi mereka yang sedang berjuang diam-diam.

Kesimpulan

Gangguan disosiatif bukan bentuk kegilaan. Ia adalah hasil dari kecerdasan jiwa dalam bertahan hidup—dengan cara yang tak biasa, tak mudah, dan sering kali tak dimengerti.

Kita hidup di zaman yang ramai, tapi banyak orang merasa sepi di dalam dirinya sendiri. Mungkin kita duduk berdampingan dengan seseorang yang tengah berjuang dengan memori yang tidak utuh. Maka mari lebih peka. Lebih mendengar. Lebih manusiawi.

Dan jika kamu adalah seseorang yang merasa kehilangan potongan dalam dirimu, ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri. Kamu tidak rusak. Kamu sedang bertahan.

Kenali Diri Anda Lebih Dalam, Temukan Potensi Terbaik Anda

Mari bergabung dengan komunitas kami untuk belajar, tumbuh, dan mencapai kesejahteraan mental yang lebih baik. Psikonesia hadir untuk menjadi mitra dalam perjalanan Anda menuju kebahagiaan, kedamaian batin, dan pemulihan.

Saya Ingin Bergabung